Selasa, 22 Juni 2021, UKM GARANK memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei dengan melakukan Webinar Nasional yang mengangkat tema “Menggali Hari Tanpa Tembakau Dan Dampak Pengendalian Tembakau Oleh Pemerintah Terhadap Petani Tembakau” dengan pemateri Kak Rama Tantra Salaksa Solikin, SKM (Gerakan Muda FCTC).
Awalnya tanggal 7 april 1988 sebagai “hari tidak merokok sedunia” dan bertepatan dengan ulang tahun ke 40 WHO. Pada 1988, resolusi WHA 42.19 disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia, menyerukan dirayakan Hari Tanpa Tembaku Sedunia tanggal 31 Mei. Tujuan awalnya adalah mendesak para perokok agar berpuasa tidak merokok selama 24 jam . hal ini sebuah tindakan yang diharapkan dapat mendorong mereka untuk berusaha berhenti merokok.
Setiap tahun, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau dan 40 juta anak balita Indonesia menjadi perokok pasif. Data terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 yang dirilis pada hari ini menunjukkan bahwa 40,6% pelajar di Indonesia (usia 13-15 tahun), 2 dari 3 anak laki-laki, dan hampir 1 dari 5 anak perempuan sudah pernah menggunakan produk tembakau: 19,2% pelajar saat ini merokok dan di antara jumlah tersebut, 60,6% bahkan tidak dicegah ketika membeli rokok karena usia mereka, dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara eceran.
Menurut website kementerian Perindustri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor yang dikategorikan sebagai kearifan lokal ini meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai serta menjadi komoditas penting bagi petani dari hasil perkebunan berupa tembakau dan cengkeh. Indonesia juga masih melakukan impor tembakau dari negara lain karena kebutuhan tembakau pertahun 300.000 ton sedangkan produksi pertahun di Inonesia hanya 166.262-200.000 ton.
Namun, bahaya tembakau tak hanya terhadap perokok aktif saja, yang lebih mengkhawatirkan adalah para petani tembakau yang secara langsung berinteraksi dan bersentuhan dengan tembakau yang akan membahayakan kesehatan. Petani tembakau sebagai ujung tombak dalam tata niaga pertembakauan, kenyataanya :
1. Penghasilan petani masih dibawah UMR (Rahmad,2015)
2. Petani Tembakau merupakan kelompok paling rentan dari aspek kesehatan, mengalami green sickness
3. Petani mempunyai posisi tawar rendah dalam mata rantai tata niaga tembakau.
Faktanya para petani tembakau justru tidak sejahtera karena harga tidak menentu. Dimana adanya sistem tengkulak sehingga petani cenderung rugi dan tingginya impor tembakau yang menyebabkan tembakau lokal tidak terserap.